AGAMA DAN MASYARAKAT
Peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang
sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu
pengaruh cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas
sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas, dan mencangkup kebiasaan
dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut
organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu
berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan, yang mempunyai
seperangkat arti mencangkup perilaku sebagai pegangan individu (way of life)
dengan kepercayaan dan taat kepada agamanya.
Agama sebagai suatu sistem mencangkup individu dan masyarakat, seperti adanya emosi keagamaan, keyakinan terhadap paham, ritus dan upacara, serta umat atau kesatuan sosial yang terikat terhadap agamanya. Agama dan masyarakat dapat pula diwujudkan dalam sistem simbol yang memantapkan peranan dan motivasi manusianya, kemudian terstrukturnya mengenai hukum dan ketentuan yang berlaku umum, seperti banyaknya pendapat agama tentang kehidupan dunia seperti masalah keluarga, bernegara, konsumsi, produksi, hari libur, prinsip waris dan sebagainya.
Dalam proses sosial,
hubungan nilai dan tujuan masyarakat relatif harus stabil dalam setiap momen.
Bila terjadi perubahan dan pergantian bentuk sosial serta kultural, hancurnya
bentuk sosial dan kultural lama, masyarakat dipengaruhi oleh berbagai perubahan
sosial. Setiap kelompok berbeda dalam kepekaan dan cara merasakan titik
kritisnya. Dalam kepekaan agama berbeda degan kondisi yang dihadapinya.
Demikian pula berbeda tingkatan merasakan “titik kritis” dalam ketidakpastian,
ketidakbudayaan, dan kelangkaan untuk masing-masing kelompok.
FUNGSI AGAMA
Teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial
yang dominan dalam terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama dan termasuk
konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab kebutuhan
mendasar yang dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi. Tetapi tidak
mengutik hakikat apa yang ada diluar atau referensi trasendental (Istilah
Talcott Parsons).
Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada
kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan dengan
sanksi-sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan
memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi dan
supramanusiawi dan ukhrowi.
Fungsi agama dibidang sosial adalah fungsi penentu, dimana
agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan
mereka.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu ialah individu,
pada saat dia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan suatu sistem nilai sebagai
semacam tuntutan umum untuk (mengarahkan) aktivitasnya dalam masyrakat, dan
berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orangtua dimana pun tidak mengabaikan upaya
“moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah
untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan tersebut harus beribadah dengan teratur, membaca kitab suci dan
berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras, tidak
minum-minum dan tidak berjudi. Maka
perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengam suara
hatinya.
DIMENSI KOMITMEN AGAMA
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah
pada komitmen agama, dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson (1984)
diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan dan
konsekuensi.
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau
harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu,
bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama mencangkup perbuatan-perbuatan
mamuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara
nyata. Ini menyangkut, pertama, ritual, yaitu berkaitan dengan seperangkat
upacara keagamaan, perbuatan religius formal dan perbuatan mulia. Kedua,
berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa
semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius
pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang
realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara
yang supernatural.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan,
bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang
ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan
tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius
berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
TIGA TIPE KAITAN AGAMA DENGAN MASYARAKAT
Agama begitu universal, permanen (langgeng) dan
mengatur dalam kehidupan sehingga bila tidak memahami agama akan sukar memahami
masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga adalah apa dan
mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama.
Dimensi keyakinan, praktek, pengalaman dan
pengetahuan dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, namun
hubungan-hubungan antara keempatnya tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan
tiga tipe,meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh (Elizabeth K.
Nottingham, 1954).
a. Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai
Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi dan
terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama yang sama. Agama menyusup
kedalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral kedalam
sistem nilai masyarakat secara adil.
2. Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga
relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian
dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini nilai-nilai
agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan.
b. Masyarakat Praindustri yang sedang Berkembang
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama
memberikan ikatan kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat ini, tetapi pada
saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya
masih dapat dibedakan.
c. Masyarakat Industri Sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan
semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar
penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah
penyesuaian-penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya adalah anggota
masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran
dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang
bersifat sekular semakin meluas, sering kali dengan pengorbanan lingkugan yang
saklar. Watak masyarakat sekular menurut
Rolan Robertison (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap
agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama dan kebiasaan-kebiasaan agama
peranannya sedikit.
Pada umumnya kecenderungan sekularisasi
mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman
keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam
kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya.
PELEMBAGAAN AGAMA
Bermula dari para ahli agama yang mempunyai
pengalaman agama dan adanya fungsi deferensiasi internal dan stratifikasi yang
ditimbulkan oleh perkembangan agama, maka tampillah organisasi keagamaan yang
terlembaga dan fungsinya adalah mengelola masalah keagamaan. Adanya organisasi
keagamaan ini, meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi memberikan kesempatan
untuk memuaskan kebutuhan ekspreif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama dan juga merupakan
pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan,
yang kemudian menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau
kematian figur kharismatikakan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang
perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman
agama apabila dibicarakan akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal
penting adalah mempelajari “wahyu” atau kitab sucinya, sebab lembaga keagamaan
itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran wahyunya.
Lembaga-lembaga keagamaan berkembang
sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan) dan tampil sebagai bentuk
asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat
intelektual, tingkat pemujaan (ibadat) atau tingkat organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah akibat
adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan
masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan
sebagainya. Agama menuju pengkhususan fungsional. Pengalian agama tersebut
mengambil bentuk dalam berbagai corak
organisasi keagamaan.
Referensi :
Haryawantiyoko. Katuuk, Neltje F.
MKDU Ilmu Sosial Dasar. 1996. Jakarta: Penerbit Gunadarma
Komentar
Posting Komentar