DISGRAFIA

Menulis merupakan proses yang kompleks, proses ini melibatkan sejumlah kegiatan fisik dan mental. Menulis bukanlah hal yang mudah. Bagi sebagian anak yang mempunyai kecerdasan (IQ) diatas rata-rata itu adalah mudah, akan tetapi bagi anak yang mempunyai IQ di bawah rata-rata semua itu merupakan hambatan dalam belajar, terutama dalam hal kesulitan menulis (Disgrafia). 


Perkembangan anak berkebutuhan khusus di Indonesia saat ini semakin meningkat tajam, baik jumlah maupun keragaman kelainannya. Anak usia dini (4–6 tahun) yang memiliki perilaku non normatif dilihat dari tingkat perkembangannya, ada beberapa macam, diantaranya yaitu: Hiperaktif, cacat mental, kesulitan bicara, kesulitan membaca, kesulitan menulis, agresif, pembangkang, penakut, dan autisme (Sunaryo dan Surtikanti, 2011: 1 ).

Mengenali dan menangani ganguan menulis pada anak-anak sebenarnya bukanlah persoalan yang tidak bisa dipecahkan, akan tetapi untuk melakukannya membutuhkan kesabaran. Para orang tua seharusnya memperhatikan dan mengamati secara cermat untuk bisa memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak yang memiliki gangguan belajar. Kesulitan belajar pada anak-anak jika tidak dideteksi sejak usia dini dan tidak dilakukan penanganan dengan upaya terapi yang benar, maka bisa menyebabkan kegagalan dalam proses pendidikan anak. Untuk itu kepedulian yang tinggi dari orangtua sangat dibutuhkan dalam membantu mendeteksi dini kesulitan belajar anak.

PENGERTIAN DISGRAFIA
Gangguan kesulitan belajar anak umumnya adalah pada bidang membaca, menulis dan matematika. Beberapa anak yang mengalami kesulitan menulis disebut dengan “Disgrafia”. Disgrafia menurut John W. Santrock adalah kesulitan belajar pada anak yang ditandai dengan adanya kesulitan dalam mengungkapkan sebuah pemikiran dalam bentuk tulisan.

Disgrafia merupakan salah satu gangguan yang banyak dialami oleh anak- anak dan remaja, dimana anak dan remaja yang mengalami gangguan ketidakmampuan belajar yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam menulis. Anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki disgrafia mungkin akan menulis dengan sangat pelan dan hasil tulisannya sangat tidak bisa terbaca bahkan mereka banyak melakukan kesalahan dalam ejaan karena ketidakmampuan anak dalam memadukan bunyi dan huruf.

Menulis membutuhkan perkembangan kemampuan lebih lanjut dari membaca. Perkembangan yang dikemukakan oleh Temple, Nathan, Burns; Cly: Ferreiro dan Teberosky dalam Brewer (1992) oleh Rini Hapsari:
1.      Scribble stage. Tahap ini ditandai dengan mulainya anak menggunakan alat tulis untuk membuat coretan. Sebelum ia belajar untuk membuat bentuk, huruf yang dapat dikenali.
2.    Linear repetitive stage. Pada tahap ini, anak menemukan bahwa tulisan biasanya berarah horisontal, dan huruf-huruf tersusun berupa barisan pada halaman kertas. Anak juga telah mengetahui bahwa kata yang panjang akan ditulis dalam barisan huruf yang lebih panjang dibandingkan dengan kata yang pendek.
3.      Random letter stage. Pada tahap ini, anak belajar mengenai bentuk coretan yang dapat diterima sebagai huruf dan dapat menuliskan huruf-huruf tersebut dalam urutan acak dengan maksud menulis kata tertentu.
4.      Letter name writing, phonetic writing. Pada tahap ini, anak mulai memahami hubungan antara huruf dengan bunyi tertentu. Anak dapat menuliskan satu atau beberapa huruf untuk melambangkan suatu kata, seperti menuliskan huruf depan namanya saja, atau menulis "bu" dengan sebagai lambang dari "buku".
5.      Transitional spelling. Pada tahap ini, anak mulai memahami cara menulis secara konvensional, yaitu menggunakan ejaan yang berlaku umum. Anak dapat menuliskan kata yang memiliki ejaan dan bunyi sama dengan benar, seperti kata "buku", namun masih sering salah menuliskan kata yang ejaannya mengikuti cara konvensional dan tidak hanya ditentukan oleh bunyi yang terdengar, seperti hari "sabtu" tidak ditulis "saptu", padahal kedua tulisan tersebut berbunyi sama jika dibaca.
6.      Conventional spelling.Pada tahap ini, anak telah menguasai cara menulis secara konvensional, yaitu menggunakan bentuk huruf dan ejaan yang berlaku umum untuk mengekspresikan berbagai ide abstrak.

Pada anak usia sekolah, perkembangan menulis telah berada pada tahap terakhir, yaitu "Conventional Spelling". Selain telah dapat menulis dengan huruf dan ejaan yang benar, anak pada usia kelas dua SD telah memerhatikan aspek penampilan visual mereka.

 Untuk lebih jelasnya dibawah ini merupakan ciri khusus anak dengan gangguan disgrafia diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Adanya ketidakkonsistenan bentuk huruf di dalam tulisan
2.      Saat menulis, penggunaan huruf kecil dan juga huruf besar masih tercampur
3.      Bentuk serta ukuran dalam tulisannya tidak proporsional
4.  Anak akan tampak berusaha dengan sangat keras pada saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan maupun pemahaman ke dalam sebuah tulisan.
5.  Anak mengalami kesulitan dalam memegang pena atau pensil dengan mantap. Biasanya anak memegang alat tulis terlalu dekat bahkan hampir menempel pada kertas.
6.      Sering berbicara pada diri sendiri pada saat sedang menulis atau justru memperhatikan tangan yang digunakan untuk menulis.
7.  Cara anak menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis pada kertas dengan tepat dan proporsional.
8.      Tetap mengalami kesulitan meskipun mereka hanya diminta untuk menyalin tulisan yang telah ada.
Teori konstruksi sosial Vygotsky (Santroks:2004) memiliki tiga asumsi, yaitu:
1. Kemampuan kognitif anak dapat dipahami hanya ketika mereka mampu menganalisa dan menginterpretasikan sesuatu;
2.  Kemampuan kognitif anak dimediasi oleh penggunaan bahasa atau kata-kata sebagai alat untuk mentransformasi dan memfasilitasi aktivitas mental; dan
3.      Kemampuan kognitif berkaitan dengan hubungan sosial dan latar belakang sosial budaya.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Vygotsky mengemukakan tiga konsep belajar sebagai berikut.
1.  Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu suatu wilayah (range) antara level terendah, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika tanpa bimbingan, hingga level tertinggi, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika dengan bimbingan.
2.      Scaffolding, yaitu teknik untuk mengubah tingkat dukungan.
3.      Language and thought.

Aplikasi teori Vygotsky dapat digunakan guru dan orang tua untuk membantu anak yang mengalami disgrafia.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan meliputi:
a.      Mengidentifikasi masalah disgrafia, terdiri dari:
1.      masalah penggunaan huruf kapital,
2.      ketidakkonsistenan bentuk huruf,
3.      alur yang tidak stabil (tulisan naik turun), dan
4.      ukuran dan bentuk huruf tidak konsisten.

b. Menentukan ZPD pada masing-masing masalah tersebut.
1.      ZPD untuk kesalahan penggunaan huruf kapital.
2.      ZPD untuk ketidakkonsistenan bentuk huruf.
3.      ZPD untuk ketidakkonsistenan ukuran huruf.
4.      ZPD untuk ketidakstabilan alur tulisan.

c. Merancang program pelatihan dengan teknik scaffolding. Teknik scaffolding dalam pelatihan ini meliputi tahapan sebagai berikut.
1.      Memberikan tugas menulis kalimat yang didiktekan orang tua/guru.
2.      Bersama-sama dengan siswa mengidentifikasi kesalahan tulisan mereka.
3.      Menjelaskan mengenai pelatihan dan ZPD masing-masing permasalahan.
4.      Menjelaskan kriteria penulisan yang benar dan meminta anak menyatakan kembali kriteria tersebut.
5.      Memberikan latihan menulis dengan orang tua/guru memberikan bantuan.
6.      Mengevaluasi hasil pekerjaan siswa bersama-sama dengan anak.
7.  Memberikan latihan menulis dengan mengurangi bantuan terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan anak.
8.      Mengevaluasi hasil pekerjaan bersama-sama dengan anak.
9.      Memberikan latihan menulis tanpa bantuan orang tua/guru.
10.  Mengevaluasi pekerjaan anak.

Selain itu untuk membantu anak yang mengalami gangguan disgrafia, orangtua juga dapat melakukan beberapa cara diantaranya :
1.      Pahami keadaan anak
Sebaiknya orangtua, guru maupun pendamping harus bisa memahami kesulitan serta keterbatasan yang dimiliki oleh anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membanding-bandingkan antara anak disgrafia dengan anak normal lainnya. Sikap tersebut hanya akan membuat orangtua dan anak mengalami stress. Jika memungkinkan, lakukan terapi pendidikan pada anak disgrafia dengan cara memberikan tugas-tugas menulis yang singkat saja.

2.      Menyajikan tulisan cetak
Berikan kesempatan dan kebebasan pada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsep yang ada dalam pikirannya dengan menggunakan komputer maupun mesin ketik. Ajari anak disgrafia untuk menggunakan alat-alat tersebut agar bisa mengatasi hambatannya dalam menulis. Dengan memanfaatkan komputer, anak dapat memanfaatkan sarana korektor sehingga mereka dapat mengetahui letak kesalahannya.

3.      Membangun rasa percaya diri anak
Berikan sebuah pujian yang wajar pada setiap usaha yang telah dilakukan oleh anak. Jangan pernah menyepelekan atau melecehkan hasil kerja anak karena hal itu hanya akan membuat anak frustasi. Kesabaran orangtua dan juga guru akan membuat anak merasa tenang dan sabar dalam menghadapi dirinya sendiri atas usaha yang sedang dilakukannya.

4.      Latih anak untuk terus menulis
Libatkan anak secara bertahap, gunakan strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitan yang dialami anak dalam mengerjakan tugas menulis. Berikan juga tugas yang menarik dan diminati oleh anak, seperti misalnya menulis surat untuk teman, menulis pesan untuk orangtua, menulis dalam selembar kartu pos dan lain sebagainya. Cara ini dapat meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantu mereka dalam menuangkan konsep abstrak mengenai huruf dan kata dalam bentuk tulisan yang konkret.
Lakukanlah terapi pendidikan atau pelatihan tersebut secara berulang-ulang pada tiap-tiap kesalahan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus disgrafia sehingga mereka mendapatkan perubahan.

KESIMPULAN :
Disgrafia merupakan salah satu gangguan yang banyak dialami oleh anak- anak dan remaja, dimana anak dan remaja yang mengalami gangguan ketidakmampuan belajar yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam menulis.Gangguan disgrafia ini tidak hanya menyebabkan tulisan tangan seseorang jelek, tetapi gangguan ini meliputi lingkup yang lebih luas seperti: kesulitan dalam mengenali bentuk huruf, menggunakan ejaan, memahami hubungan kata, terbalik-balik dalam menulis, bentuk tulisan yang tidak terbaca dan kesulitan dalam menuliskan apa yang difikirkan.

Kesulitan belajar pada anak-anak jika tidak dideteksi sejak usia dini dan tidak dilakukan penanganan dengan upaya terapi yang benar, maka bisa menyebabkan kegagalan dalam proses pendidikan anak. Oleh sebab itu, kepedulian yang tinggi dari guru dan yang paling utama adalah orang tua sangat dibutuhkan dalam membantu mendeteksi dini kesulitan belajar anak. Dalam hal ini orang tua harus lebih peka dan paham dengan segala potensi dan kemampuan anak. Selain itu orang tua juga harus mampu membangkitkan semangat, menyupport, membangun rasa percaya diri anak, melatih dan membimbing si anak dalam kemampuan menulisnya.

REFERENSI :
http://www.binauralbeats.co.id/Mengatasi-Kesulitan-Belajar-Anak-Disgrafia.htm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERPEN : PERCAKAPAN SINGKAT

PENGERTIAN, SYARAT, UNSUR & MACAM-MACAM ALINEA

KONVENSI NASKAH